Senin, 04 April 2011

Kajian Prosa Fiksi dan Unsur Intrinsik

unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Untuk karya sastra dalam bentuk prosa, seperi roman, novel, dan cerpen, unsur-unsur intrinsiknya ada tujuh: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh, 4) alur (plot), 5) latar (setting), 6) sudut pandang, dan 7) gaya bahasa.

1. Tema

Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita.

Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain.

Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan ada pula yang dinyatakan secara implisit (tanpa disebutkan tetapi dipahami).

Dalam menentukan tema, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: minat pribadi, selera pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa.

Dalam sebuah karya sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema sampingan. Tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.

2) Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

3) Tokoh

Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.

Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.
  2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Adapun tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu:

  1. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (baik protagonis ataupun antagonis).
  2. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
  3. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.

Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh, yaitu:

  1. Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
  2. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.

Adapun menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM, ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu:

  1. Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
  2. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
  3. Melalui penggambaran fisik tokoh.
  4. Melalui pikiran-pikirannya
  5. Melalui penerangan langsung

4) Alur (Plot)

Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal, yaitu:

  1. Berdasarkan urutan waktu terjadinya (kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear.
  2. Berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal.
  3. Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.

Adapun struktur alur adalah sebagai berikut:

  1. Bagian awal, terdiri atas: 1) paparan (exposition), 2) rangsangan (inciting moment), dan 3) gawatan (rising action).
  2. Bagian tengah, terdiri atas: 4) tikaian (conflict), 5) rumitan (complication), dan 6) klimaks.
  3. Bagian akhir, terdiri atas: 7) leraian (falling action), dan 8- selesaian (denouement).

Dalam membangun alur, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah:

  1. Faktor kebolehjadian. Maksudnya, peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya tidak selalu realistik tetapi masuk akal.
  2. Faktor kejutan. Maksudnya, peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak / dikenali oleh pembaca.
  3. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.

Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan alur menjadi dinamis.

Adapun hal yang harus dihindari dalam alur adalah lanturan (digresi). Lanturan adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.

5. Latar (setting)

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok:

a. Latar tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

c. Latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial.

6. Sudut pandang (point of view)

Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam sudut pandang yang bisa dipakai:

a. Sudut pandang orang pertama (first person point of view)

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.

Sudut pandang orang pertama masih bisa dibedakan menjadi dua:

  1. ‘Aku’ tokoh utama. Dalam sudut pandang teknik ini, si ‘aku’ mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniyah, dalam diri sendiri, maupun fisik, dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si ‘aku’ menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si ‘aku’, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si ‘aku’ menjadi tokoh utama (first person central).
  2. ‘Aku’ tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh ‘aku’ muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan (first pesonal peripheral). Tokoh ‘aku’ hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si ‘aku’ tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah. Dengan demikian si ‘aku’ hanya tampil sebagai saksi saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ‘aku’ pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.

b. Sudut pandang orang ketiga (third person point of view)

Dalam cerita yang menpergunakan sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah seorang yang berada di luar cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.

Sudut pandang ‘dia’ dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya:

  1. ‘Dia’ mahatahu. Dalam sudut pandang ini, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘dia’ tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ‘dia’ yang satu ke ‘dia’ yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.
  2. ‘Dia’ terbatas (‘dia’ sebagai pengamat). Dalam sudut pandang ini, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya, terbatas pengetahuannya (hanya menceritakan apa yang dilihatnya saja).

7. Gaya bahasa

Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk gaya bahasa.

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya.

Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.

B. Dasar-Dasar Teoritik Seputar Apresiasi Prosa-Fiksi

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Prosa-Fiksi

a. Pengertian

Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose . Kata ini sebenarnya menyaran

pada pengertian yang lebih luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang

digolongkan sebagai karya sastra, tapi juga karya non fiksi, seperti artikel, esai, dan

sebagainya.

Agar tidak terjadi kekeliruan, pengertian prosa pada buku ini dibatasi pada

prosa sebagai genre sastra. Dalam pengertian kesastraan, prosa sering diistilahkan

dengan fiksi (fiction ), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative

discourse).

Prosa yang sejajar dengan istilah fiksi (arti rekaan) dapat diartikan : karya

naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak sungguh-sungguh

terjadi di dunia nyata. Tokoh, peristiwa dan latar dalam fiksi bersifat imajiner. Hal ini

berbeda dengan karya nonfiksi. Dalam nonfiksi tokoh, peristiwa, dan latar bersifat

faktual atau dapat dibuktikan di dunia nyata (secara empiris).

b. Jenis–Jenis Prosa –Fiksi

 Prosa Modern

Dari khasanah sastra modern, kita mengenal Ada beberapa jenis karya prosa

fiksi, yaitu novel, novelet, dan cerita pendek (cerpen).

1) Cerita Pendek (cerpen)

Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita

berbentuk prosa yang pendek. Ukuran pendek di sini bersifat relatif. Menurut Edgar

Allan Poe, sastrawan kenamaan Amerika, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca

dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun Jakob Sumardjo

dan Saini K.M (1995:30) menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada

keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen memiliki efek tunggal dan tidak

kompleks.

Cerpen ,dilihat dari segi panjangnya, cukup bervariasi. Ada cerpen yang

pendek (short short story), berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan

(middle short story), dan ada cerpen yang panjang (long short story) biasanya terdiri

atas puluhan ribu kata.

Dalam kesusastraan di Indonesia, cerpen yang diistilahkan dengan short short

story, disebut dengan cerpen mini. Sudah ada antologi cerpen seperti ini, misalnya

antologi : Ti Pulpen Nepi Ka Pajaratan Cinta. Contoh untuk cerpen-cerpen yang

panjangnya sedang (middle short story) cukup banyak. Cerpen-cerpen yang dimuat di

surat kabar adalah salah satu contohnya.. Adapun cerpen yang long short story

biasanya cerpen yang dimuat di majalah. Cerpen „”Sri Sumariah” dan “Bawuk” karya

Umar Khayam juga termasuk ke dalam cerpen yang panjang ini.

2) Novelet

Di dalam khasanah prosa, ada cerita yang yang panjangnya lebih panjang dari

cerpen, tetapi lebih pendek dari novel. Jadi, panjangnya antara novel dan cerpen. Jika

dikuantitaatifkan, jumlah dan halamannya sekitar 60 s.d 100 halaman. Itulah yang

disebut novelet.

Dalam penggarapan unsur-unsurnya : tokoh, alur, latar, dan unsur-unsur yang

lain, novelet lebih luas cakupannya dari pada cerpen. Namun, dimaksudkan untuk

memberi efek tunggal.

3) Novel

Kata novel berasal dari bahasa Italia, novella, yang berati barang baru yang

kecil. Pada awalnya, dari segi panjangnya noovella memang sama dengan cerita

pendek dan novelet.

Novel kemudian berkembang di Inggris dan Amerika. Novel di wilayah ini

awalnya berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, seperti surat, biografi, dan

sejarah. Namun seiring pergeseran masyarakat dan perkembangan waktu, novel tidak

hanya didasarkan pada data-data nonfiksi, pengarang bisa mengubah novel sesuai

dengan imajinasi yang dikehendakinya.

Yang membedakan novel dengan cerpen dan novelet adalah segi panjang dan

keluasan cakupannya. Dalam novel, karena jauh lebih panjang, pengarang dapat

menyajikan unsur-unsur pembangun novel itu: tokoh, plot, latar, tema, dll. secara

lebih bebas, banyak, dan detil. Permasalahan yang diangkatnya pun lebih kompleks

Dengan demikian novel dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang

menyajikan permasalahn-permasalahan secara kompleks, dengan penggarapan unsur-

unsurnya secara lebih luas dan rinci.

4) Roman

Kehadiran dan keberadaan roman sebenarnya lebih tua dari pada novel.

Roman (romance) berasal dari jenis sastra epik dan romansa abad pertengahan. Jenis

sastra ini banyak berkisah tentang hal-hal yang sifatnya romantik, penuh dengan

angan-angan, biasanya bertema kepahlawanan dan percintaan.

Istilah roman dalam sastra Indonesia diacu pada cerita-cerita yang ditulis

dalam bahasa roman (bahasa rakyat Prancis abad pertengahan) yang masuk ke Indonesia melalui kesusastraan Belanda. Di Indonesia apa yang diistilahkan dengan

roman, ternyata tidak berbeda dengan novel, baik bentuk, maupun isinya. Oleh karena

itu, sebaiknya istilah roman dan novel disamakan saja.

Cerpen, novel/roman, dan novelet di atas berjenis-jenis lagi. Penjenisan itu

dapat dilihat dari temanya, alirannya, maupun dari kategori usia pembaca.

Terkait dengan penjenisan berdasarkan kategori usia pembaca, kita mengenal

pengistilahan sastra anak, sastra remaja, dan sastra dewasa. Begitu pula dengan jenis

prosa di atas, baik cerpen, novel, maupun novelet. Penjenisan itu disesuaikan dengan

karakteristik usia pembacanya, baik dari segi isi, maupun penyajiannya. Sebagai

contoh, sastra anak (cerpen anak, novel anak) dari segi isinya akan menyuguhkan

persoalan-persoalan dan cara pandang sesuai dengan dunia anak-anak. Begitu pula

dengan penyajiannya, yang menggunakan pola penyajian dan berbahasa sederhana

yang dapat dipahami anak-anak. Sastra remaja pun demikian, persoalan dan

penyajiannya adalah sesuai dengan dunia remaja, seperti percintaan, persahabatan,

petualangan, dan lain-lain.

Sesuai dengan lingkup materi yang terdapat dalam kurikulum, pembahasan

jenis prosa di atas akan dibatasi pada cerpen anak dan novel remaja.

Cerita Anak

Cerita anak, baik karya asli Indonesia, maupun terjemahan, mencakup rentang

umur pembaca yang beragam, mulai rentang 3-5 tahun, 6-9 tahun, dan 10-12 tahun

(bahkan 13 dan 14) tahun. Adapun bentuknya bermacam-macam, baik serial, cerita

bergambar, maupun cerpen. Tema cerita anak juga beragam, mulai dari persahabatan,

lingkungan, kemandirian anak, dan lain-lain. Sifatnya juga beragam. Dari segi

sifatnya, cerita anak dalam khasanah sastra modern terdiri atas:

 cerita keajaiban, yakni cerita sihir dan peri yang gaib, yang biasanya

melibatkan pula unsur percintaan dan petualangan. Contoh: Cinderella, Puteri

Salju, Puteri Tidur, Tiga Keinginan, dan lain-lain.

 cerita fantasi, yaitu cerita yang 1) menggambarkan dunia yang tidak nyata; 2)

dunia yang dibuat sangat mirip dengan kenyataan dan menceritakan hal-hal

aneh; dan 3) menggambarkan suasana yang asing dan peristiwa-peristiwa yang

sukar diterima akal. Macam-macamnya adalah: fantasi binatang, fantasi

mainan dam boneka, fantasi dunia liliput, fantasi tentang alam gaib, dan

fantasi tipu daya waktu.

 cerita fiksi ilmu pengetahuan, yakni cerita dengan unsur fantasi yang

didasarkan pada hipotesis tentang ramalan yang masuk akal berdasarkan

pengetahuan, teori, dan spekulasi ilmiah, misalnya cerita tentang petualangan

di planet lain, makhluk luar angkasa, dan sejenisnya.

Sumber-sumber cerita anak cukup luas, baik berupa buku, maupun cerita-

cerita yang disajikan di majalah anak-anak, dan koran-koran yang memiliki sisipan

rubrik anak-anak. Di Indonesia, para pengarang cerita anak antara lain: Toha Mohtar,

Mansur Samin, Titie Said, E. Siswojo, A. Djan, Triwahyono, Nimas Heming, Slamet

Manshuri, Ayu Widuri, Dian Pratiwi, Heroe Soekarto, Radar Panca Dahana, Toety

Mukhlih, Arif Maulana, Soekardi, Tetet Cahyati, Dorothea Rosa Herliany, dan masih

banyak lagi.

 Novel Remaja

Novel remaja adalah novel yang ditulis untuk segmen pembaca remaja. Oleh

karena yang ditujunya remaja, maka isi dan penyajiannya pun disesuaikan dengan

dunia remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar