Senin, 28 Maret 2011

PERIODESASI DAN PERBEDAAN KARYA SASTRA


Tahukah Anda kapan sastra muncul atau lahir di Indonesia? Jenis sastra seperti apa yang pertama ada di Indonesia? Dalam pelajaran ini, Anda akan mempelajari sejarah sastra yang ada di Indonesia. Menurut zamannya, sastra dapat dikelompokkan ke dalam beberapa periodesasi sastra. Periodesasi sastra adalah pembagian sastra dalam beberapa periode atau beberapa zaman.

Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda. Ciri khas sastra setiap periode/angkatan merupakan gambaran dari masyarakatnya sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya. Jika masyarakat berubah, sastranyapun akan berubah. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan sastra atau periodisasi sastra seperti berikut.


1. Sastra Indonesia Lama (Sebelum Tahun 1920)
Kesusastraan lama adalah kesusastraan yang lahir sebelum Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kesusastraan lama lahir sekitar tahun 1500, setelah agama Islam masuk ke Indonesia sampai abad XIX.

Kesusastraan Melayu pada waktu itu masih bersifat cerita lisan dari mulut ke mulut, belum berbentuk tulisan atau huruf. Orang yang bercerita dan berpantun disebut pawang. Pawang dianggap sebagai buku kesusastraan. Pawang berjasa menerapkan kesusastraan kepada rakyat sebab rakyat pada waktu itu, belum dapat membaca dan menulis. Rakyat dapat mengetahui kesusastraan jika menghadiri pertunjukan yang dilakukan oleh para pawang di daerah Melayu.

Ciri-ciri kesusastraan lama adalah bahasanya masih menggunakan bahasa baku yang kaku, ceritanya masih berkisar tentang dewa-dewa, raksasa, atau dongeng yang muluk-muluk, misalnya menceritakan putri yang cantik jelita serta istana yang indah, atau cerita tentang pengembaraan seorang putra raja.

Setelah agama Hindu dan Islam masuk ke Indonesia, baru kesusastraan ini ditulis dalam bentuk buku.

Kesusastraan lama yang asli dapat dibagi menjadi tiga bagian.
1. Cerita yang hidup dalam masyarakat, misalnya Lebai Malang, Pak Belalang, Pak Kadok, dan Si Makbul.
2. Sejarah lama yang bersifat nasional, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Aceh, dan Silsilah Bugis.
3. Pelipur lara, misalnya Hikayat si Miskin, Hikayat Mashudul Hak, Hikayat Malin Deman, Hikayat Awang Sulung Merah Muda, dan Cerita si Umbut.

Sastra lama Indonesia, selain memiliki sastra asli juga memiliki sastra yang bukan asli. Artinya, sastra yang sudah mendapat pengaruh luar, misalnya mendapat pengaruh cerita Jawa, di antaranya Hikayat Panji Semirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Jaran Resmi, dan Damar Wulan. Selanjutnya, sastra lama Indonesia mendapat pengaruh Hindu dan Arab Parsi.

Sastra Indonesia yang dipengaruhi agama Hindu, misalnya Mahabarata, Ramayana, dan Panca Tantra. Dalam bahasa Indonesia, ketiga buku itu berudul Sri Rama, Walmiki, Kekawin, Serat Kanda, Keling, dan Tambak. Pengaruh Arab Parsi dalam sastra lama Indonesia terlihat dalam karya-karya mengenai ketatanegaraan, misalnya buku Tajussa Latin (Mahkota Raja-Raja), Bustanussalatin (Taman Raja-Raja), Lukmanul Hakim, dan Abunawas. Selain itu karya lama terlihat dalam roman sejarah, misalnya Iskandar Zulkarnaen, Amir Hamzah, dan Muh. Ali Hanafiah. Selanutnya, karya lama terlihat dalam bentuk didaktik, misalnya Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar (Gulam), dan Cerita 1001 Malam.

Selain sastra berbentuk prosa juga ada sastra yang berbentuk puisi. Sastra lama dalam bentuk puisi di antaranya pantun, mantra, bidal, carmina, syair, gurindam, talibun, gurindam, syair masnawi, bait, rubai, kithah, gosali, dan nazam.

Syair berasal dari bahasa Arab, gurindam dari bahasa Tamil. Seloka berasal dari bahasa Sanskerta. Adapun mantra, bidal, dan pantun merupakan sastra lama asli Indonesia. Jenis puisi lainnya adalah masnawi, bait, rubai, khithah, gosali, gajal, dan nazam diambil dari bahasa atau sastra Arab Parsi. Pujangga-pujangga yang terkenal penggubah syair adalah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Pansuri, dan Raja Ali Haji.

Puisi yang berasal dari Barat adalah soneta. Soneta berasal dari bahasa Italia yang terbentuk dari kata lain sono, berarti bunyi atau suara. Soneta lahir pada pertengahan abad ke-13 di Kota Florence. Dari Italia, soneta menyebar ke seluruh Eropa terutama ke Eropa Barat, di antaranya Inggris dan Belanda. Kira-kira abad ke-20, soneta itu dibawa ke Indonesia oleh pemuda-pemuda yang bersekolah di Belanda. Adapun pelopor pujangga soneta Indonesia adalah Muhamad Yamin, Y.E. Tatengkeng, Rustam Efendi, Intoyo, dan Sutan Takdir Alisjahbana.

2. Sastra Indonesia Masa Kebangkitan (1920–1942)
Perkembangan bahasa dan sastra Indonesia mulai berkembang sejalan dengan gerak bangsa yang memilikinya. Pembentukan sastra Indonesia mulai tampak dengan berdirinya gerakan nasional yang dipimpin oleh Budi Utomo (1908). Dari sini, timbullah sastra baru yang dipancarkan oleh masyarakat baru pula. Pada masa itu, keadaannya lebih dinamis dan dikuasai oleh dunia percetakan serta merupakan alam kebebasan individu. Dalam masa ini, nama pengarangnya lebih menonjol, begitu pula hasil karyanya. Hasil karyanya lebih banyak sehingga lebih memungkinkan setiap orang dapat menikmati karya para pengarangnya.

Kebangkitan ini (1920–1942) dikelompokkan menjadi beberap periode.
a. Periode 1920 atau Masa Balai Pustaka
Pada tahun 1908, pemerintah Belanda mendirikan lembaga bacaan rakyat yang bernama vollectuur dengan ketuanya Dr. G.A.J. Hajeu. Lembaga bacaan rakyat bertugas memilih karangan-karangan yang baik untuk diterbitkan sebagai bahan bacaan rakyat. Pada tahun1917, lembaga bacaan itu diubah menjadi Balai Pustaka dan yang menjadi redakturnya adalah para penulis/pengarang serta para ahli bahasa Melayu.

Balai Pustaka bersedia menerbitkan buku-buku karya sastrawan Indonesia. Akan tetapi, agar dapat diterbitkan, dengan syarat-syarat. Misalnya, karangan itu tidak boleh mengandung unsur-unsur yang menentang pemerintah. Tidak boleh menyinggung perasaan golongan tertentu dalam masyarakat; dan harus bebas/netral dari agama. Kedudukan Balai Pustaka semakin besar, walaupun kebebasan para pengarang “di belakang”. Akan tetapi, di lain pihak, para pengarang diberi jalan untuk mengarang lebih baik sehingga bakat mereka terpupuk. Masyarakat diberi kebebasan untuk menikmati buku-buku terbitan. Dalam hal ini akibatnya pengetahuan masyarakat bertambah. Namun, setelah adanya nota Rinkes, pengarang tidak diberi kebebasan untuk menulis; beberapa buku disensor; begitu pula karangan asli bangsa Indonesia banyak yang diubah.

Buku-buku karya sastra yang sempat terbit pada masa Balai Pustak, di antaranya:
1) Azab dan Sengsara, Si Jamin dan Si Johan, dan Binasa karena Gadis Priangan karya Merari Siregar;
2) Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Pulau Sumbawa, dan Lahami karya Abdul Muis;
3) Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis;
4) Hulubalang Raja, Katak Hendak Menjadi Lembu, Salah Pilih, Cobaan, Karena Mertua, Mutiara, Apa Dayaku karena Aku Perempuan, Cinta Tanah Air, Neraka Dunia, Pengalaman Masa Kecil, dan Korban karena Percintaan karya Nur St. Iskandar;
5) Darah Muda dan Asmarajaya karya Jamaludin/Adinegoro;
6) Di Bawah Lindungan Ka’bah, Karena Fitnah, Merantau ke Deli, Tuan Direktur, Terusir, Keadilan Ilahi, Tenggelamnya Kapal van Der Wijck, Lembaga Hidup, Revolusi Agama, Ayahku, Adat Minangkabau, Negara Islam, Empat Bulan di Amerika, dan Kenang-Kenangan Hidup Menghadapi Revolusi karya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).
7) Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan karya Selasih/Sariamin/Seleguri;
Kawan Bergelut, Percobaan Setia, Pandangan dalam Dunia Anak-anak, Kasih Tak Terlerai, Mencari Pencuri Anak Perawan, dan Tebusan Darah karya Suman Hasibuan;
9) Teman Duduk, Muda Teruna, Berebut Uang Satu Milyun, Pengalaman di Tanah Irak, dan Kehilafan Hakim karya Mohamad Kasim;
10) Si Dul Anak Betawi, Pertolongan Dukun, Si Cebol Merindukan Bulan, dan Desa/Cita-cita Mustafa karya Aman Datuk Majoindo;
11) Sengsara Membawa Nikmat, Tidak Membalas Guna, dan Memutuskan Pertalian karya Tulis St. Sati.

Pada awalnya, pengarang Balai Pustaka didominasi oleh orang Sumatra. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda tahun 1928, muncul pengarang-pengarang dari daerah. Salah satu ikrar Sumpah Pemuda adalah menunjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan diresmikannya bahasa Indonesia menjadi bahasa Nusantara di Indonesia, bermunculan pengarang-pengarang dari pulau-pulau lainnya. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut.
1) A.A. Panji Tisna atau I. Gusti Panji Tisna dari Bali. Karyanya I Swasta Setahun di Bedahulu; Sukreni Gadis Bali; Ni Rawit Ceti Penjual Orang; Dewi Karuna; dan I Made Widiadi;
2) M.R. Dayoh dari Minahasa Sulawesi Utara, karyanya Syair untuk ASIB; Pahlawan Minahasa, Putra Budiman; dan Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol;
3) Paulus Supit dari Minahasa Sulawesi Utara, karyanya Kasih Ibu;
4) L. Wairata dari Seram Maluku karyanya Cinta dan Kewajiban
5) Haji Oeng Muntu dari Sulawesi Selatan. Karyanya Pembalasan dan Karena Kerendahan Budi;
6) Sutomo Johar Arifin dari Jawa karyanya Andang Teruna.

b. Periode 1993 (Pujangga Baru)
Pada masa ini, Belanda banyak mengeluarkan peraturan yang terutama pembatasan dalam karangan-karaangan yang ditulis orang Indonesia. Hal ini Belanda merasa takut disebabkan oleh bangsa Indonesia bangkit untuk perjuangan kemerdekaan. Selama ini, sudah tampak gejala-gejala adanya rasa nasionalisme yang disebabkan oleh karya sastra yang berbau politik yang menimbulkan semangat perjuangan. Karya sastra yang berisi pendidikan telah mampu mencerdaskan masyarakat pribumi.

Dengan semangat yang gigih, bangsa Indonesia, khususnya para pengarang secara diam-diam, mendirikan organisasi baru yang diberi nama Pujangga Baru. Nama itu diambil dari nama majalah yang mereka terbitkan pada tanggal 29 juli 1933. Penerbitan majalah Pujangga Baru itu dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane.

Hasil karya dan pengarang Angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut.

1) Bentuk puisi, di antaranya:
a) Rindu Dendam karya Y.E. Tatengkeng (1934);
b) Tebaran Mega karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936);
c) Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah (1937);
d) Jiwa Berjiwa karya Armijn Pane (1939);
e) Gamelan Jiwa karya Armijn Pane (1940);
f) Buah Rindu karya Amir Hamzah (1941).

2) Bentuk prosa, di antaranya:
a) Tak Putus Dirundung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1929);
b) Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana 1932;
c) Mencari Pencuri Anak Perawan karya Suman Hasibuan (1932);
d) Pertemuan Jodoh karya Abdul Muis (1933);
e) Kalau Tak Untung karya Selasih (1933);
f) Kehilangan Mestika karya Hamidah (1935);
g) Bergelimang Dosa karya A. Damhuri (1935);
h) Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936);
i) Sukreni Gadis Bali karya I. Panji Tisna (1938);
j) Neraka Dunia karya Sutan Iskandar (1937);
k) Lenggang Kencana karya Armijn Pane (1937);
l) Di Bawah Lindungan Kabah karya HAMKA (1938);
m) Tenggelamnya Kapal van Der Wijck karya HAMKA (1938)
n) Belenggu karya Armijn Pane (1940);
o) Andang Teruna karya S.D. Arifin (1941);
p) Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana (1941).

c. Periode 1942 (Zaman Jepang)
Karya sastra pada masa ini dapat dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah karya sastra dan pengarangnya yang resmi berada di bawah naungan Pusat Kebudayaan Jepang. Mereka menulis sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh Pusat Kebudayaan Jepang. kelompok kedua adalah kelompok yang tidak mau berkompromi dengan Pusat Kebudayaan Jepang. Akan tetapi, mereka mencari jalan baru untuk mengatakan sesuatu. Cara yang mereka lakukan diupayakan tidak berbahaya, tetapi cita-cita terlaksana. Melalui cara ini, banyak karya sastra yang bersifat simbolik.

Pengarang-pengarang dan karya-karyanya yang timbul pada masa Jepang ini adalah:
1) Usmar Ismail karyanya Kita Berjuang, Diserang Rasa Merdeka, Api, Citra, dan Liburan Seniman;
2) Rosihan Anwar karyanya berupa puisi yang berjudul Lukisan kepada Prajurit;
3) Maria Amin karyanya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga, dan Penuh Rahasia.

3. Sastra Indonesia Masa Perkembangan (1945–Sekarang)
Pada masa ini, Indonesia sudah merdeka sehingga tidak bergantung lagi kepada bangsa lain. Situasi ini tentunya berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra pada masa itu.
a. Periode 1945
Pengarang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merdeka pada waktu itu adalah Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Usmar Ismail dan lain-lain. Rosihan Anwar memberikan nama kepada mereka sebagai pengarang Angkatan ’45. Penamaan ini dimuat dalam majalah Siasat. Sastrawan yang menjadi pelopor dalam bidang puisi pada periode ini ialah Chairil Anwar. Adapun pelopor dalam bidang prosa adalah Idrus.

Karya sastra Angkatan ’45 mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya bentuknya agak bebas dan isinya menampilkan suatu realita. Pujangga yang karyanya menjadi penghubung dalam masa ini adalah Armijn Pane dan El Hakim.

Karya-karya Angkatan ’45 dipengaruhi pujangga-pujangga Belanda dan dunia, misalnya Rusia, Italia, Prancis, dan Amerika. Karya sastra dan pengarang Angkatan ’45, di antaranya:
1) Chairil Anwar karyanya Kerikil Tajam, dan Deru Campur Debu;
2) Idrus karyanya Surabaya dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma;
3) Asrul Sani karyanya Tiga Menguak Takdir, bentuk cerpennya: Panen, Bola Lampu; Museum; Perumahan bagi Fadrija Navari, Si Penyair Belum Pulang, Sahabat Saya Cordiza, Beri Aku Rumah, Surat dari Ibu, Elang Laut, dan Orang dalam Perahu;
4) Usmar Ismail karyanya Permintaan Terakhir (cerpen), Asoka Mala Dewi (cerpen), Puntung Berasap (kumpulan sajak), Sedih dan Gembira (kumpulan drama), Mutiara dari Nusa Laut (drama), Tempat yang Kosong, Mekar Melati, Pesanku (sandiwara radio), dan Ayahku Pulang (sandiwara saduran).

b. Periode 1950
Periode ini merupakan kelanjutan dari Angkatan ‘45 dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1) Pusat kegiatan sastra telah meluas ke seluruh pelosok Indonesia tidak hanya terpusat di Jakarta atau Yogyakarta;
2) Kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra nasional Indonesia;
3) Nilai keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada kekuasaan asing, tetapi kepada peleburan antara ilmu dan pengetahuan asing berdasarkan perasaan dan ukuran nasional.
Pengarang yang dimasukkan ke dalam periode ini, adalah:
1) Toto Sudarto Bachtiar karyanya Suara (kumpulan sajak) (1950–1955) dan Etsa (1958);
2) Ajip Rosidi karyanya Tahun-Tahun Kematian (1955), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah buat Hari Tua (1957), Perjalanan Penganten (1958), Pesta (kumpulan sajak) (1956), Ketemu di Jalan (1956), Cari Muatan (1959), dan Tinjauan tentang Cerita Pendek Indonesia (1959);
3) Trisnoyuwono karyanya Laki-laki dan Mesiu (1959) serta Angin Laut (1958).

c. Periode 1966
Ada dua peristiwa yang penting di Indonesia, yakni peristiwa 1945 dan peristiwa 1966. Peristiwa 1945 merupakan momentumnya kemerdekaan. Hal sebagaimana dilontarkan penyair Chairil Anwar yang berontak terhadap penjajahan Jepang pada 1943. Ia melahirkan puisi yang berisi semangat aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Adapun peristiwa 1966 momentumnya menegakkan keadilan.
Beberapa pengarang Angakatan ‘66 dan karyanya adalah sebagai berikut:
1) Mohamad Ali karyanya 58 Tragedi, Siksa dan Bayangan; Persetujuan dengan Iblis, Kubur Tak Bertanda, serta Hitam atas Putih;
2) Toto Sudarto Bahtiar karyanya Suara dan Etsa;
3) Alexander Leo karyanya Orang yang Kembali;
4) Nh. Dini karyanya Dua Dunia; Hati yang Damai; dan Pada Sebuah Kapal.

4. Karya yang Mendapatkan Penghargaan
Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, ada sejumlah karya sastra pernah mendapatkan penghargaan. Beberapa penghargaan sastra di antaranya Sastra Nasional BMKN, Hadiah Sastra Yamin, dan hadiah tahunan pemerintah.

BMKN adalah singkatan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Lembaga ini pernah memberikan hadiah kepada sastrawan Indonesia yang menghasilkan karya sastra bermutu. Beberapa karya dan pengarang yang pernah mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN antara lain: Jalan Tak Ada Ujung (novel, Mochtar Lubis, 1953), Laki-Laki dan Mesiu (cerpen, Trisnoyuwono, 1960), Tjerita dari Blora (cerpen, Pramoedya Ananta Toer, 1953), Perempuan (kumpulan cerpen, Mochtar Lubis, 1956), Pulang (novel, Toha Mochtar, 1960), Tandus (kumpulan puisi, S. Rukiah, 1953), Priangan si Jelita (puisi, Ramadhan K.H., 1960), Titik-Titik Hitam (drama, Nasyah Djamin, 1960), Saat yang Genting (drama, Utuy Tatang Sontani, 1960), Merah Semua Merah (drama, Mh. Rustandi Kartakusumah, 1960).

Pada 1964, Yayasan Yamin memberikan penghargaan kepada orang Indonesia yang berhasil pada 1963 dalam bidang sastra. Sastrawan yang penah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Yamin: Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono), Daerah Tak Bertuan (Toha Mochtar), Orang-Orang Baru dari Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer), dan Mereka Akan Bangkit (Bur Rasuanto, tetapi ia menolak hadiah tersebut).

Sejak tahun 1969, pemerintah Republik Indonesia juga memberikan penghargaan kepada seniman dan ilmuwan yang dianggap berjasa. Di bidang sastra, karya sastra yang pernah mendapat penghargaan, antara lain: Siti Nurbaya (roman, Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (roman, Abdul Muis, 1928), Belenggu (novel, Armijn Pane, 1940), Atheis (novel, Achdiat K. Miharja, 1949), Harimau! Harimau! (novel, Mochtar Lubis), Madah Kelana (puisi, Sanusi Pane, 1931), Nyanyi Sunyi (puisi, Chairil Anwar, 1949), dan Deru Campur Debu (puisi, Chairil Anwar, 1949).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar